Oleh: Muhammad Hardi Putrawan, S.E (Pemred BID Pintar Warta Desa Sepit)
Sepit,- (desasepit.web.id). Sebagai orang yang pernah berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi, secara sadar melekat tanggungjawab moral untuk memperbaiki keadaan sosial, minimal di sekitar tempat tinggal. Tanggungjawab moral ini kemudian yg menggerakkan jiwa terpanggil dengan sendirinya mengambil andil dalam berkontribusi untuk memperbaiki tatanan hidup bermasyarakat. Pada prakteknya tidak pernah semudah seperti yang dibayangkan.
Tinggal di kampung terpencil yang masyarakatnya mayoritas (maaf) awam, menjadi tantangan yang tidak mudah untuk memuluskan segala rencana. Butuh kesabaran dan macam-macam strategi pendekatan. Berbeda dengan ketika berorganisasi di kampus maupun di lembaga-lembaga formal lainnya seperti lembaga keorganisasian tingkat desa misalnya, yang notabene anggotanya terpelajar sehingga lebih mudah untuh mengorganisirnya.
Teman-teman pemuda di kampung kebanyakan tidak tertarik dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya membangun bersama, namun saya memahami ketidak tertarikan mereka itu, selain tidak terbiasa atau asing dengan hidup keseharian mereka, juga terbentur dengan kepentingan pribadi untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing. Kami yang seringkali dipercaya jadi depan, tidak berarti kebutuhan pribadi sudah terpenuhi semua, tidak. Tapi karena dorongan moral itulah kami bertanggungjawab untuk melakukan perbaikan sosial semampu yang kami bisa lakukan.
Kenyataan semacam itu menuntut kami harus kreatif melakukan pendekatan-pendekatan. Kami percaya untuk mencapai kerjasama yang baik, sesama teman muda harus merasa dekat satu sama lain terlebih dahulu, maksud saya dekat secara emosional. Untuk mendapatkan kedekatan itu, harus dilakukan rekayasa sosial, seperti kegiatan keakraban dan lainnya. Dalam kegiatan keakraban tersebut kami juga harus pandai mengemas kegiatan-kegiatan yang mereka senangi. Tujuannya selepas keakraban, perasaan dekat satu sama lain terjalin dan itulah modal utama untuk menyukseskan agenda-agenda berikutnya guna menghidupkan kampung halaman tercinta.
Menggerakkan teman-teman muda yang dari latar belakang yang berbeda (banyakan yg "maaf" kurang terpelajar) sungguhlah susah, pada prosesnya tidak jarang kami dicuekin, tidak didengar, diremehkan dan lain-lain. Sudah menjadi rahasia umum ketika kita yang sudah mengenyam pendidikan tinggi, terus tidak kerja dengan berpakaian rapi dan bersepatu dianggap gagal oleh masyarakat sekitar (kampung), tidak terkecuali di tempat saya tinggal.
Niat baik dan tujuan adiluhung itu ketika disambut dengan acuh, dicuekin, tidak didengar, tentu saja menyesakkan dada, menyisakan kekecewaan yang dalam, tapi kami juga sadar itulah harga mahal yang harus kami bayar untuk tujuan besar yang ingin kami capai. Memimpin memang tidak pernah mudah, harus rela berkorban, mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Persis sama dengan pepatah kuno Belanda "Leiden is lidjen" yang dalam bahasa Indonesianya berarti "Memimpin adalah menderita."
Berung, 20-Desember-2020